Rindu

Lalu, apalagi yang bisa dengan tepat menggambarkan rasa dari Rindu?
Tenggorokan dan bibir mu pecah saat tersesat di padang pasir. Kau merindukan Oase.
Pada kisah di Kejadian. Bagai Penjaga malam kau merindukan pagi.

Dan, memang seperti itu lah Rindu.
Putus sudah asa mu bila tak bertemu.
Hampa lah celah yang telah kau ukir, terus menanti untuk bisa dilengkapi.

Rindu.
Sakit yang kau buat untuk menyiksa diri sendiri.
Dan, karena keinginan diri sendiri.

Berpikir terlalu jauh

saya sering memiliki mimpi.

Yang begitu indah seperti nya dan cukup realistis untuk jadi kenyataan. Namun, bukan disangkal jika banyak nya adalah mimpi yang di luar batasan dan tidak nyata.

Kadang, satu saja mimpi bisa mengacu pada ide-ide baru, segar dan tiba-tiba membuat api dalam diri ini bergejolak dan bahkan meledak! Entah, bahkan terkadang sampai bergetar. Dan, saat mulai menuliskan nya dalam sebuah catatan hilang sudah segala akal dan kemampuan untuk menulis. Apalagi untuk menyadari huruf dan kata.

Mimpi // Ide.

Mimpi-mimpi yang datang ini kadang membuat saya sangat kesakitan. Karena, bahkan sedetik saja begitu mimpi itu begitu indahnya hadir dalam benak, lalu disadari bahwa begitu tidak nyata nya, juga begitu jauh bisa jadi kenyataan. Saya tiba-tiba terisak tangis, menangisi betapa bodoh nya diri.

(Saya mencoba menarik nafas panjang saat ini)

Mengapa bisa? termakan habis semua tenaga karena mimpi? yang tidak mungkin jadi nyata? dan dibodohi oleh angan diri sendiri?

Mengapa membodohi diri sendiri? mengapa mengkhianati diri sendiri?

Lalu, hilanglah semangat. Dampak dari segala energi yang terhisap, habis. Dan hampa.

 

Berpikir terlalu jauh.

Di hari-hari saya sendiri, terfokuskan pada diri sendiri, hening dengan pikiran sendiri. Bukan beberapa, tapi banyak pikiran yang seakan berlomba-lomba muncul ke permukaan meminta dan memaksa untuk diberikan perhatian.

Seperti gema, sulit sekali untuk menghilangkan satu saja sumber suara yang terus-menerus berteriak pada kuping yang hanya dua ini.

Kekhawatiran pun silih berganti datang. Menanyakan, “Apakah kamu bisa?”. Dan menuntut “Apa kamu bisa?”. Lalu menilai “Apa kamu bisa?”.

(Membenturkan kepala pada tembok)

Sebenarnya, saya lebih daripada yakin. Bahwa tidak hanya saya yang memiliki keraguan pada diri sendiri di dalam pikirannya. Yang kadang menyita segala perhatian hanya untuk memperlambat laju kita untuk bergerak.

Yang saya selalu takutkan, apakah saya akan kalah.

 

Lalu, hari berganti hari. Beberapa pekerjaan, tugas, dan segala macam keinginan diri sendiri menemui batasan-batasannya.

Ada yang selesai dengan mudah. Ada yang selesai tanpa disadari. Tapi, lebih banyak yang tertunda karena masih tertidur pulas dalam selimut mimpi.

Ya, banyak nya yang tidak terselesaikan adalah kumpulan-kumpulan dari segala keinginan diri sendiri itu. Yang disadari jika tidak ada orang yang memberikan batasan untuk dikerjakan maka tidak akan pernah di mulai. Bahkan tidak akan pernah selesai.

Tapi, harus saya kembali lagi pada beberapa hal yang dikerjakan.

Saya ingin membagikan syukur. Karena, entah bagaimana. Semua hal yang saya takutkan, begitu dimulai hilang juga. Beberapa rintangan yang saya sangat takuti ternyata hanya peluh dan sakit otot belaka, atau mungkin stress dan kurang tidur sesaat.

Saya temui, beberapa tanjakan bisa saya lewati sendiri. Gunung-gunung yang orang lain tidak bisa selesaikan dan juga bayangan yang menyeramkan ternyata mudah untuk dipindahkan.

 

Tuhan, terima kasih.

 

Nyatanya, yang dibutuhkan selama ini hanya meMULAInya lebih awal.

Berkumpul dengan orang-orang yang diam tapi bekerja.

Berteman dengan pemikir-pemikir tulus. Yang tidak hanya pintar tapi penuh welas kasih.

Dan berfokus pada satu tujuan di satu waktu.

 

SELESAI.

 

*Tapi, untuk semua mimpi yang hanya keinginan atau mimpi belaka. Tetap tidak juga terlaksana. Ya, mungkin benar. Karena tidak ada aspek-aspek di atas tersebut dalam waktu saya meMIMPIkan nya*

Cinta Laura, Billy Mambrasar dan Iman Sjafei : Dalam menerima kritik di ruang publik

Perhatian. Seluruh tulisan di dalam blog post ini adalah pendapat pribadi. Seluruh sumber yang disebut tercantum dalam tautan untuk dibahas.

 

Dalam situasi sulit yang dihadapkan kepada seluruh lapisan masyarakat saat ini. Sulit untuk menahan untuk tidak mengeluh.

Beberapa faktor tambahan adalah berubah nya sikap dan pola sosial kita. Sebagai Manusia, makhluk paling sosial dan terbiasa hidup di lingkungan urban. Berganti ke gaya hidup yang seluruh nya terbatasi dan harus #dirumahsaja, pasti sangat sulit. Dan nyatanya sangat sulit memang.

Kita menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar (screen time). Bekerja dari rumah, belajar secara daring dan juga menghabiskan waktu ber social media di rumah.

Walhasil, tanpa kemampuan menyaring dan menilai informasi menjadi kelemahan kita sendiri. Kita menjadi lebih cepat dalam menerima informasi. Dan jadi lebih cepat juga dalam memberikan pendapat.

 

Akhir-akhir ini, dunia politik dan sosial kita mendapat banyak sorotan.

Dan beberapa yang mendapat catatan bagi saya sendiri salah satunya adalah bagaimana para tokoh publik ini menerima dan memproses setiap kritik yang datang terhadap lakon mereka di ruang publik, seperti twitter atau media massa.

Sangat menarik, karena dengan ekspresi dan cara-cara mereka menjawab kritikan menunjukan betapa jelas nya, bahwa kemampuan berkomunikasi di ruang publik adalah suatu keahlian yang butuh waktu untuk dikuasai juga latihan yang cukup banyak untuk bisa menerima nya.

 

Kita mulai dengan Cinta Laura.

Berawal dari postingan di Instagram pribadi nya, Cinta bermaksud membuat surat terbuka untuk perenungan dimasa sulit ini.

Menjadi trending di Twitter, dan berhasil diliput banyak media. Namun, yang muncul di timeline twitter saya malah tulisan ini https://asumsi.co/post/surat-terbuka-untuk-cinta-laura-tentang-covid-19.

Sebuah surat terbuka balasan dari salah satu jurnalis Asumsi.co, yang bermaksud menyatakan kondisi yang terjadi, yang mungkin sebenarnya luput dari perhatian Cinta.

Kritik yang tajam dan detail dengan banyak sumber dan acuan sebagai referensi, surat terbuka ini saya rasa begitu indah. Ya, karena tidak hanya menyatakan pendapat. Tapi juga memberikan apresiasi juga opsi bagi Cinta tentang alternatif caranya untuk membagikan keprihatinan nya.

Lantas, apa yang dilakukan oleh Cinta selanjutnya? Di twitter nya, Cinta me retweet tweet dari penulis, juga membalas dengan jawaban yang singkat tanpa banyak dalih.

Dear Mas Raka, terima kasih untuk suratnya. Mohon maaf bila niat baik saya justru menyakiti hati banyak orang. Tujuan awal saya sebetulnya ingin mengurangi kepanikan dì masyarakat. Tapi sudahlah.. sebaiknya kita tutup sampai disini kontroversi ini.🙏

Patut diberikan perhatian dan apresiasi lebih. Begitu dewasa dan elegan cara Cinta menyelesaikan konflik yang muncul terhadap salah satu tindakannya.

Saya sendiri mengapresiasi Cinta atas keluwesannya juga dalam menyikapi pelbagai komentar netijen di twitternya. Bagaimana pun, kemampuan mengontrol emosi dan menahan ego untuk membalas satu persatu mention yang masuk terlebih dengan nada menyerang pasti sangat sulit dan menyakitkan.

 

Billy Mambrasar

Sebagai salah satu staf khusus millenial bagi pemerintahan saat ini. Persona Billy sudah banyak mendapat kritikan dari banyak warga twitter.

Tidak hanya sekali, Billy mendapat banyak sekali kritik dari yang saya ikuti atas setiap jawaban ataupun statement nya di ruang publik.

Kontroversial.

Yang muncul di timeline saya waktu itu adalah bagaimana akun @raviopatra yang “menyerang” secara bertubi-tubi dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka atas pengertian Billy untuk beberapa isu dan tanggung jawabnya sebagai staf khusus.

Saya tidak menyalahkan Ravio atas segala cuit-an nya. Namun hanya menyayangkan nada menyerangnya yang begitu tajam. Yang tidak saya mengerti dan harus akui adalah, bagaimana Ravio bisa sampai begitu tajam mengkritik Billy?

Lalu? apa respon Billy?

Sangat lucu, beberapa yang saya temui adalah bagaimana Billy menyerang balik Ravio dengan begitu banyak tautan berita yang tanpa ada isi jelas dan juga maksud didalam nya.

Billy seakan bungkam dalam membalas dengan suatu pemikiran terhadap pendapat Ravio, dan suatu hari muncul dalam sebuah wawancara media dengan statement bahwa dia bukan dari latar belakang public figure dan segala kritik yang datang kepadanya bertujuan untuk membully, namun kini dia sudah bisa mulai mengatur mentalnya terhadap kritik yang datang.

?

Pertanyaan besar bagi saya pribadi, mengapa Billy tidak meluangkan waktu nya untuk membuka percakapan dengan orang-orang yang “menyerang” nya, namun malah membuka pendapat publik lewat media?

Sebuah blunder, juga tingkat kedewasaan dalam bersosial yang rendah menurut saya.

Dan dalam kasus ini, saya menyadari bahwa dalam pendidikan kita sangat penting juga untuk memasukkan kurikulum debat pendapat dan bagaimana caranya menerima dan memberikan pendapat.

Melihat latar belakang pendidikan Billy, saya sangat menyayangkan bagaimana kemampuannya menjadi tokoh publik begitu rentan. Apakah dia tidak pernah masuk dalam organisasi kemahasiswaan? Apakah orang-orang disekitarnya tidak terbangun dengan kritik dan memberikan pendapat? Dan apakah dalam studi nya dia tidak pernah melakukan debat pendapat dengan rekanan lain?

 

Terakhir, Iman Sjafei

Harus diakui, bahwa saya memiliki kekaguman pribadi terhadap beliau. Memimpin sebuah perusahaan yang inspiratif dan fokus selain pada periklanan tapi juga pengembangan kemampuan publik.

Namun, beberapa hari lalu melalui akun twitternya, Iman menyatakan pendapatnya atas keputusan dari menteri Yasonna yang berdasarkan referensi PBB untuk membebaskan napi karena isu COVID-19 ini.

Dengan nada ringan dia mengkritisi tapi tetap dengan analogi realitas yang masih bisa diterima, menurut saya.

Datanglah kritik keras dari akun twitter @erasmus70. Tiga cuitan yang menjadi utas berisikan artikel internasional tentang perlu dan referensi untuk pembebasan napi di saat ini.

Kembali lagi, seperti isu yang terjadi pada Billy, yang saya sayangkan adalah bagaimana Erasmus begitu nafsu untuk “meluruskan” Iman dengan pendapatnya, dan begitu gahar dengan perkataan nya yang menyatakan ketidaksetujuannya atas pendapat Iman.

Dan lagi, karena begitu mudah dan cepatnya kita merespon, kadang kita lalai untuk menahan ego juga memberi diri dinding untuk berakal sehat. Penuh ini adalah pendapat dari saya pribadi.

Dan setelah beberapa cuitan terkirim, akhirnya Erasmus menuliskan permintaan maaf atas semua cuitan yang mengandung nada tinggi tersebut setelah diingatkan oleh salah satu rekannya atas alasan yang mungkin menjadikan pendapat Iman.

Lalu, apa reaksi Iman?

Saya sangat mengapresiasi langkah yang diambil mas Iman dalam situasi ini. Dengan me-reply dengan jokes singkat “Loh kok ngegas?” ditulis Iman beserta emoticon tertawa.

Selain penting nya untuk menahan diri atas segala informasi yang masuk, hal tersulit adalah menahan ego atas kritik di ruang terbuka atau pun publik.

Twit singkat Iman sangat melegakan. Dan dari yang saya perhatikan dan tentu pendapat pribadi. Iman berniat untuk tidak memperpanjang permasalahan tersebut. Dan tentu saja twitnya itu pendapat pribadi.

Selain untuk menekan tegangan suasana saat itu, respon dari Iman sangat jitu untuk menunjukan bahwa tidak perlu begitu serius untuk merespon segala hal-hal yang memang belum jelas.

Kalau kita perhatikan lagi dari cuit-an Iman, pemerintah dengan keputusannya memang masih kurang akan solusi atas pembebasan para narapidana tersebut.

Tanpa jaminan dan tanpa fasilitas pasca hal-hal yang mereka lakukan, dan di masa sulit saat ini, lalu bagaimana mereka menghidupi diri sendiri? Karena tentu salah satu faktor mereka melakukan tindak kejahatan ya karena tuntutan.

Selain memang beberapa oknum memang menjadikan kejahatan dan kriminalitas adalah jalan hidupnya.

Kedewasaan Iman patut diacungi jempol. Dan bagaimana dia bisa mendapatkan keluwesan untuk berpendapat dan bahkan bereaksi terhadap kritik tersebut? Salah satu faktor mungkin karena latar belakangnya dari media, sudah pasti Iman terus diasah untuk meneliti data, mengkritisi keputusan maupun pernyataan atau bahkan memberikan keputusan di masa sulit sebagai pemimpin.

 

Akhirnya, dari tiga isu dan tokoh di atas yang saya bahas.

Menjadi perhatian bagi saya sendiri adalah bagaimana kita mengajarkan ke generasi selanjutnya untuk bisa memberikan, menyatakan dan menerima pendapat dengan baik, patut dan beretika.

Kritik yang membangun dengan solusi, kritik yang berdasarkan fakta dan data, juga bereaksi terhadapnya secara dewasa.

Terakhir, bagaimana kita yang menjadi penyimak kritikan tersebut tidak terbawa arus dan tidak “mengoreng” terus-menerus hal-hal yang sudah seharusnya selesai. Dan membiarkan orang-orang yang berkepentingan lanjut berkarya.

Falsafah tingginya pohon

“Semakin tinggi pohon. Maka semakin kencang pula angin yang menerpa Nya.”

 

Falsafah yang sudah sangat tua, diperdengarkan kebanyak orang. Dan terus berlanjut ke lintas generasi.

Awamnya, perumpamaan ini diberikan dan terus digaungkan bagi pihak-pihak yang sedang meniti karir. Menaiki anak tangga kesuksesan dalam usahanya. Juga, orang-orang yang mendapat perubahan menuju kebaikan.

Seperti apa sebenarnya secara realita yang kita rasakan sebagai Pohon disaat-saat seperti itu?

 

Pohon, yang memiliki dahan, yang berakar bagus. Hidup dilingkungan yang penuh dengan cacing tanah dan sinar matahari yang cukup sudah pasti sanggup dan mudah untuk bertumbuh dan bersemi dengan bergantinya musim dan hari.

Air yang mengalir dan menutrisi kebutuhannya sehari-hari, menjadi penunjang bagi keberlangsungan tumbuhnya.

Tidak mudah, tentu halangan bukan hanya timbul saat sudah tinggi, rimbun dan besar.

Angin bukanlah tantangan yang dinantikan saat sudah menjadi besar. Melainkan tantangan bertahan sehari-hari yang banyak tidak dituliskan dalam buku sejarah dan ayat-ayat kata bijak bagi penerus kita nanti.

Domba yang lapar, ulat dan hama. Bahkan benalu pun ikut menjadi ancaman sedari dini sebuah pohon untuk berkembang.

Lalu, jika sudah mencapai titik tak lagi terganggu oleh hal-hal itu. Lantas hanya angin kah yang menjadi kegundahan sang pohon dalam hari-harinya menjadi besar?

Menaungi lebih dari satu-dua jenis kehidupan di bawahnya, melindungi lebih dari tiga-empat nyawa di dalamnya. Bahkan menghidupi lebih dari kawanan di sekitarnya. Sebuah pohon memiliki lebih dari sekedar angin yang menjadi tantangannya untuk bertahan.

 

Angin.

Yang membawa kadang badai. Yang menghantarkan kadang serbuk sari. Dari buruk dan baiknya. Jika Pohon tidak hati-hati dalam menyikapinya, salah bergoyang sedikit saja dari lagu dan tarian yang dilantunkan oleh angin. Bisa jadi pohon kehilangan dahan, bisa jadi runtuh segala isi dan berat yang ditampung selama puluhan tahun berjuang, bisa jadi gugur segala kehidupan yang selama ini menggantung dalam naungan.

Begitu berbahaya tarian yang dibawakan angin. Sehingga entah sedih atau bahagia, Pohon mana bisa berekspresi dengan leluasa.

 

Namun, jika sudah terlanjur patah. Apa benar akhir kehidupan didepan mata?

Nyatanya, pohon masih memiliki dahan yang lainnya. Masih memiliki ranting yang hidup. Masih berdaun hijau dan berakar tanam.

Dahan yang goyah mungkin karena memang selama ini sudah terlalu banyak menerima terpaan. Mungkins elama ini sudah terlalu banyak menerima beban. Dan mungkin, mungkin karena memang tidak terlalu baik nutrisi yang di terimanya.

Menangislah tentu, jika kehilangan.

Tapi setelah kehilangan. Sadarkan Pohon? Angin hanya mematahkan satu dahan nya? Dia masih memiliki banyak dahan dan ranting yang masih menjadi bagian utuh dari dirinya dan tubuhnya.

 

Lagi pula, tidak dahan yang runtuh itu pun sia-sia dalam hidupnya.

Sadari, betapa berharga nyawa satu dahan yang runtuh begitu berarti bagi yang membutuh dan. Dan bagi yang memang pantas menerima dahan itu dalam kehidupan mereka.

Seumur hidupnya hanya bertemu dan berteman pada satu tuan, tuan Pohon seorang.

Dan sekarang, dia bisa menjadi berkat bagi orang lain.

Daunnya yang gugur akan menjadi makanan bagi cacing-cacing tanah yang terus juga bertugas untuk menggemburkan tanah agar sang Pohon dapat terus berakar dan mendapat air yang baik.

Rantingnya yang kering berubah menjadi kayu-kayu siap pakai untuk menyalakan api bagi para pengembara yang kelaparan dan menggendong hasil buruan.

Juga dahan itu sendiri pun akhirnya bisa menjadi potongan kayu yang kering dan siap menjadi bahan penghidupan perapian bagi manusia dalam hari-hari dingin.

 

Begitu klise yang kita ketahui. Dan begitu sedikit yang kita mengerti. Juga terlalu sepi kita menyanyikan lagu yang memuji dahan yang patah.

Kita begitu mengelu-elukan Pohon yang begitu kokoh dengan segala kemegahannya. Dan lupa bahwa dahan yang patah sekalipun begitu bermanfaat bagi banyak mahluk yang membutuhkan.

 

Memang, angin begitu kencang dan besar di ketinggian yang sudah dicapai Pohon saat ini.

Begitu… Mengerikan…

Tapi mari rasakan. Bahkan angin pun datang tidak cuma membawakan bencana, dan tidak hanya diciptakan untuk mencobai.

Bisa saja yang membuat Pohon mati adalah dari tingkahnya sendiri. Diri nya sendiri. Kelakuannya sendiri.

Oleh karena itu. Berhenti untuk melihat angin dan mencari arahnya. Tapi mari belajar menahan dan berirama sebaik mungkin pada nyanyian kesedihan atau elu-elu kemasyuran yang begitu nyaring.

Agar tidak patah dahan karena salah bergerak. Dan agar tidak hilang sesuatu yang sebenarnya begitu berharga bagi diri sendiri.

 

Angin, terima kasih telah membawakan nyanyian dalam keseharian ku. Mari menari dan kita lalui keseharian yang penuh dengan HIDUP.

Tersinggung… Merasa dilangkahi

Kamu pegawai? pekerja? Bawahan? atau Atasan?

Kamu seorang perantara? Relay? yang tidak bisa mengambil keputusan tapi harus memberi jawaban?

Mungkin tulisan ini untuk kamu.

Ya, kamu… Yang SERING merasa tersinggung saat ada yang melewatkan kamu untuk memberikan informasi. Yang merasa tersinggung saat dilangkahi saat memberikan keputusan. Yang merasa tersinggung saat seseorang menghubungi atasan mu tanpa sepengetahuanmu.

 

HEI!

Jangan senang dulu… Tulisan ini bukan untuk membela kamu lho! Malah untuk menyerang kamu…

Iya… M E N Y E R A N G   K A M U ! ! !

 

Tenang, Tulisan ini akan dibuat sedemikian santai sampai kamu lupa kalau kamu sedang dipergunjingkan.

HA!

 

Jadi, dalam struktural organisasi. Sudah pasti ada orang-orang yang ditempatkan dibagian support. Pendukung. Atau sebagainya.

Yang menjadi penghubung antara pemberi keputusan dan penerimanya.

Tapi, sering kali. Kata lain nya BIROKRASI ini begitu sulit dan membuat waktu terbuang dengan sangat. MENYEBALKAN!

Dan, di dunia yang semuanya sudah terhubung dengan sangat mudah dan cepat, lalu mengapa kita membutuhkan birokrasi yang berbelit-belit dan membingungkan?

Tentu demi kerapihan dokumentasi adalah salah satu faktor mengapa masih adanya pekerja bagian relay atau support ini. Lalu apa yang menjadi masalahnya?

Mudah, yang pertama adalah etika.

Tidak semua orang mau dan tahan terhadap bendungan yang begitu banyak. Ya, birokrasi itu bagaikan bendungan yang menahan aliran informasi. Yang seharusnya juga bisa dua arah, tapi malah menjadi satu arah. Dan lebih-lebih tidak terhubung.

Hubungan seharusnya di dunia modern ini bisa secepat akses internet malah jadi lambat dan tertahan.

Kembali lagi. Etika.

Akan sangat menyulitkan saat kamu berada di posisi tersebut, apalagi kamu tidak memiliki etika menjawab, memberi informasi dan menerima informasi dengan baik.

Kamu menerima informasi seakan orang lain gangguan. Kamu memberi informasi seakan kamu membuang sampah. Dan kamu menjawab pertanyaan seakan kamu tidak punya waktu.

Kepana? Jika memang tidak tahu jawaban dari pertanyaan, kenapa tidak jawab saja dengan template jawaban otomatis ini misal : “Baik, akan aku tanyakan dulu ya. Akan aku jawab begitu aku tahu jawabannya secepatnya.” atau “Aku belum tahu jawabannya, coba aku tanya dulu ya ke yang lain atau yang bertanggung jawab”.

Dengan respon terhadap pertanyaan seperti itu, siapa di dunia ini yang tidak akan memberikan apresiasi terhadap anda?

Sedang yang kamu lakukan : “Duh aku gak tau ya…” atau “Hmm… waduh bukan tanggung jawab ku”

YA KAN KAMU PERANTARA!!!

Sambungkan lah pada bagian yang berwenang… maka selesai lah urusan.

Tapi, saat orang yang bertanya lalu bertanya kepada orang lain dan mendapat jawaban kamu malah marah.

Kamu malah tersinggung. Kamu malah merasa tidak dihargai karena kamu yang seharusnya memberikan jawaban.

LAH KAMU DITANYA JAWABNYA GAK TAU KOK!!!

Jadi? Sudah tau jawabannya ya?

Jawabannya adalah ETIKA mu yang harus diperbaiki…

 

Kamu gak akan bisa bertahan dalam posisi tersebut jika kamu tidak bisa melakukan tiga hal tersebut. Dan kamu juga sepertinya tidak pantas ada di posisi itu jika kamu tidak mau melakukan hal tersebut.

Intinya, perlakukan orang lain seperti dan selayaknya MANUSIA.

Kamu juga mau kan diperlakukan dengan layaknya MANUSIA. Iya manusia, yang punya hati dan perasaan untuk tersinggung dan juga senang kalau dilayani dengan baik.

Mari bekerja sama membentuk lingkungan kerja yang lebih baik lagi.

Untuk kamu, untuk kita.

In this difficult time…

Hi,

 

Want to write an open letter to all this internet citizen.

Wish you all safe.

 

During this difficult time. True it’s not only me that has been decide not to have an active social life. With all this Social distancing things we should agree to take whole risk to.

Has been work from home and did self quarantine for around 7 days now. And it turns so DEPRESSING!

Like. REALLY!!!

And all i wish to all of you know is not just a SAFE during whole this time. But, also SANE.

Turning from an active social life. Wake up -> Go to work -> Back home or just chill with friend in afterhours.

EVERYTHING’S CHANGES.

All the meeting turns into just an Email, Video conference.

All the task decreased. To only one or two in a weeks.

And, what scares me the most. Being jobless.

With all this decreasing trend in all line. I doubt that i could keep my own job nowaday.

Wasn’t being sceptical. But, realistic. The company have no turn over to keep the operation works. No money to paid all the bills. Which mean no money too, to pay the employee.

Even more, with the Eid moment that will come in couples week.

Our Salary, Our Bonuses, Our THR (only Indonesian will understand). Is all at risk.

Not to be dramatic. Not to be exaggerate… But, are you stupid or not?!

Don’t lie to me.

To date, THE GOVERNMENT not made any decision or an ultimatum to all the Company, Banks or all Credit company about out Financial Strategy.

What a shameful things.

Not only shameful, but making me more worried about how to stay alive and sane during this circumstance.

 

I HAVE A FAMILY TO BE FED. I HAVE A BILLS TO BE PAID. AND THE CREDIT WON’T PAID IT OWN SELF. AND THE DEBT COLLECTOR ALREADY CATCH ME BEFORE THE REGULATION ARE MADE.

Oh GOD.

What a …

 

Know i just starting to questioning more about this. Why??? Why this all happen during my lifetime???

Just. WHY?

 

Anyway. it is all my letter. Wish anyone reading this having a blessed day.

Safe and Sane. You and your loved ones.

I love you…

Yang tergantung dalam ekspektasi

Yang selalu menginginkan.

Haus akan keinginan.

Dan berujung digantung.

Tercekik akan kekecewaan. Habis napas karena gemas. Gila karena geram.

Ekspektasi = bayangan yang kita harapkan bakal menjadi kenyataan, dan biasanya ini sangat bertolak belakang dengan realita yang ada. Semua orang pasti juga pernah mengalami ekspektasi ini. Dari harapan yang mungkin bisa terwujud sampai yang mungkin gak bakal bisa terwujud.

Ingin dicintai. Ingin memiliki. Ingin… ingin… ingin…

Sampai akhirnya gila karena kecewa. Marah karena hampa. Mati karena tidak bisa menemukan apa yang sebenarnya yang diinginkan.

Jauh, di dalam lubuk hati. Nalar pun menyertai, bahwa sejujurnya ekspektasi adalah perwujudan dari ketidakmampuan untuk menyatakan keinginan.

Membuat urutan apa yang terukur untuk dimiliki dan batasan atas hal yang hanya angan.

Seperti mimpi. Ekspektasi.

Mengapa? mengapa berekspektasi?

Semoga bisa mengaku dengan telanjang…

MISKIN. Miskin akan pengakuan. Miskin akan kepemilikan. Miskin akan kepercayaan. Miskin akan kebutuhan.

Akhirnya, semua terasa dibutuhkan. Butuh pengakuan. Butuh untuk dimiliki. Butuh untuk dipercaya. Butuh untuk membutuhkan, rasa. Rasa yang bergelantungan untuk sebentar bersandar pada kekokohan sesuatu, seseorang.

Literasi – Indonesia

Sempat ramai diperbincangkan di media Twitter beberapa saat yang lalu. Berawal dari Tweet dengan foto seseorang yang memegang potongan karton berdiri di depan sebuah tempat makanan cepat saji dan bertuliskan nama restoran cepat saji tersebut bukanlah tempat belajar.

Respon mendukung datang dari banyaknya masyarakat juga yang merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Tweet tersebut mendapat re-tweet ribuan kali. Menyatakan dukungan dan persetujuan dari apa yang juga dirasakan banyak orang.

Tapi ada juga yang hanya menyebarkan Tweet tersebut hanya untuk mendapatkan informasi tambahan dari banyak orang mengenai pandangan lingkaran pertemanannya. Yang biasa mereka panggil sebagai mutual.

Dari banyaknya pendapat yang bertebaran, beberapa muncul ke permukaan dan mendapatkan banyak juga re-tweet dan likes karena mengerucut dan seakan menjawab dari banyaknya pendapat. Merasa terwakilkan.

Yang pertama setuju, tempat makan seharusnya memang untuk tempat berkumpul menikmati makanan. Menyantap nya dengan obrolan singkat bersama teman-teman. Tidak perlu dan juga tidak pantas menyelesaikan pekerjaan kantor ataupun tugas-tugas sekolah di tempat seperti ini.

Yang satu lagi, muncul dengan pandangan betapa absurb nya jaman ini. Dimana begitu berbeda. Mereka merasa bagaimana bisa suatu informasi masuk dan terproses dengan baik jika para pelajar tersebut malah menimba ilmu bukan di tempat yang seharusnya. Yaitu sekolah. Atau bahkan di tempat yang nyaman menurut mereka, yaitu rumah atau perpustakaan.

Dan yang terakhir, yang berasal dari lingkaran pertemanan saya sendiri, ini merupakan pandangan menarik yang akan saya jabarkan juga berikan pandangan pada akhirnya.

Di mulai.

Mengapa pelajar milenial lebih memilih belajar ataupun bekerja di tempat makanan cepat saji dibandingkan Perpustakaan / Rumah?

Jawabnya ataupun penjabaran yang Ia berikan adalah karena dengan mudahnya mereka [para pelajar ini] mendapatkan akses internet beserta lingkungan yang nyaman saat berada di tempat makanan cepat saji tersebut.

Tempat makanan cepat saji tersebut begitu mudah ditemukan di setiap sudut kota. Dan begitu nyaman dengan pilihan makanan yang memang sesuai dengan selera anak-anak muda.

Pelajar, Mahasiswa atau pekerja kantoran atau pekerja lepas tentu akan begitu mencintai kemudahan dan kenikmatan fasilitas dari tempat makan cepat saji tersebut. Yang dimana akses internet lancar, ruang terbuka dan berinteraksi yang bebas tanpa halangan, juga ketersediaan pilihan makanan dan minuman yang memang sesuai dengan selera dan daya beli mereka.

Mendapatkan lingkungan yang aman dan nyaman serta lengkap. Lalu akan kemana lagi mereka pergi?

Di saat jam pulang sekolah adalah [contoh dari beberapa sekolah] jam tiga sore dan jam tutup perpustakaan umum daerah maupun kota adalah jam 3 sore.

Lalu, walaupun mereka sempat menyambangi perpustakaan tersebut. Larangan demi larangan yang akan mereka temui tentu saja membuat mereka merasa terbatas.

Sebut saja larangan makan di perpustakaan, Larangan berisik dan beserta larangan lainnya yang saya sendiri tidak begitu hafal karena hampir tidak pernah menyambangi perpustakaan daerah maupun kota.

Terlebih ini yang menjadi highlight dari semua nya, perpustakaan daerah maupun kota berada begitu jauh dan terlalu sedikit keberadaan nya di setiap daerah maupun kota.

Pernahkah kita menyadari adanya perpustakaan daerah di dekat kita?

Ya, saya tahu ada perpustakaan di dekat tempat tinggal saya saat ini, di tengah kota dan berada persis di samping gedung pusat pemerintahan. Namun saat dulu saya tinggal di daerah pinggiran kota, bahkan untuk tahu adanya dimana perpustakaan pun saya tidak bisa. Dan bahkan tidak tertarik untuk mencari tahu, begitu mengetahui perpustakaan hanya berada di dekat gedung pemerintahan pusat daerah yang berjarak dua jam perjalanan bermotor.

Dan perpustakaan pun hanya ada dan berada di dekat pusat pemerintahan.

Mengapa harus disana? Mengapa tidak berada di dekat daerah pusat pendidikan?

Mengapa bukan berada di daerah dimana tingkat kepadatan penduduk nya banyak?

Pertanyaan pertanyaan seperti ini begitu menggelitik dimana saat pemerintah sendiri yang mengkritik tentang rendahnya Literasi Bangsa.

 

Bagaimana bangsa ini bisa mulai membiasakan diri dengan membaca buku, pergi ke perpustakaan. Bahkan menjadikan perpustakaan menjadi tempat bernaung sepulang sekolah atau disaat mengerjakan tugas-tugas kuliah jika perpustakaan hanya ada satu di setiap daerah dan itupun hanya beroperasi di jam-jam dimana para pelajar malah sedang sibuk-sibuk nya dengan semua kegiatan di dalam sekolah atau pun kampus.

 

Bagaimana bisa bangsa ini meningkatkan budaya literasi nya, di saat buku-buku berkualitas dari penulis-penulis luar negeri yang bisa saja memberikan pandangan baru dalam memahami atau berpikir malah diberikan pajak. Dan membuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat desa yang seharusnya menjadi prioritas dalam kebangkitan literasi bangsa ini.

 

Dan, Bagaimana bisa bangsa ini maju dalam literasi nya. Di saat kurikulum yang diterapkan lebih hanya mementingkan kepemilikan sebuah paket kertas berisi hasil catutan dari berbagai sumber tanpa adanya keharusan untuk melakukan penelitian yang mandiri, berdasarkan penggalian dari berbagai macam sumber informasi yang kredibel cetak maupun digital dan berbentuk karya tulis yang bisa saja menggairahkan untuk dibukukan di kemudian hari.

 

Kita kembali lagi setelah jauh berkontemplasi pada kritik terhadap pemerintahan dan segala ke bias an yang mereka lakukan kepada sosok teman yang bercerita bagaimana hidup dan perpustakaan di luar negeri.

Diceritakan oleh teman ini lewat tweet nya setelah sedikit meradang dengan pemerintah negara sendiri bahwa begitu minimnya kesadaran dari pemerintah sendirilah yang membuat literasi bangsa ini begitu rendah.

Teman ini menceritakan, di negara tempat dia tinggal saat ini perpustakaan semua nya begitu mudah di jangkau. Dan hanya butuh kurang lebih lima belas menit perjalanan menuju perpustakaan terdekat. Bahkan bisa ditemukan lebih dari tiga puluh perpustakaan yang berada di dalam satu kota yang dia tinggali.

Tidak hanya banyak dan mudahnya ditemukan perpustakaan di negara tersebut. Peraturan yang mereka terapkan juga membuat pelajar bahkan masyarakat nyaman untuk pergi berkunjung ke perpustakaan.

Diizinkannya membawa ke dalam perpustakaan, adanya komputer dan akses internet yang berfungsi dengan baik dan tersedia nya banyak koleksi buku karena setiap gedung perpustakaan di negara tersebut minimal bisa dua kali lipat dari perpustakaan daerah yang berada di indonesia yang nyatanya tidak lebih besar dari ukuran rumah dengan 2 kamar tidur di dalam nya.

Sebuah tantangan yang harusnya bisa menampar sekaligus jalan keluar paling ampuh untuk para pemangku kepentingan di kursi pemerintahan yang sebenarnya begitu mudah untuk dilakukan.

Pembangunan perpustakaan-perpustakaan yang merata di setiap sudut kota berdasarkan pusat-pusat padat penduduk dan pusat pendidikan.

Dengan adanya dan mudahnya diakses perpustakaan akan menjadi pilihan awal bagi pelajar bernaung. Setelah tentu saja tempat makanan cepat saji yang tidak mungkin sepertinya bisa disingkirkan begitu saja dari gaya hidup yang sudah begitu mendarah daging bagi anak-anak muda milenial.

Dan tentu saja, pekerjaan rumah pemerintah dengan tuduhan yang harus nya mempermalukan dirinya sendiri karena rendahnya Literasi Bangsa haruslah segera dikerjakan dan diselesaikan. Tentu tidak mudah. Jelas tidak murah.

Namun, setidak nya di jika direalisasikan secepat mereka mengeluarkan pernyataan. Maka niscaya selesai masa bakti mereka jelas sudah terlihat perbedaan nya.